Standar ISO sudah amat sangat dikenal sebagai standar yang diakui dalam skala internasional. Untuk suatu perusahaan, standar ISO bahkan bisa dijadikan tolok ukur bagaimana perusahaan itu berjalan. Lebih dari itu, standar ISO yang diterapkan juga mampu mendongkrak kepercayaan dan juga kredibilitas dari perusahaan maupun pihak lain yang menerapkannya.
Hal tersebut jelas amat sangat baik bagi konsumen alias pelanggan itu sendiri, karena akan mendapatkan jaminan pelayanan yang baik. Tetapi lebih dari itu, jenis ISO lainnya juga menjamin secara internal perusahaan maupun pihak yang menerapkannya agar setidaknya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Itulah mengapa ada standar ISO yang fokus pada manajemen kualitas, manajemen lingkungan, dan tak ketinggalan teknologi informasi.
ISO 26000 Sebagai Standar Sosial

Melanjutkan fokus standar ISO yang sudah ada, akhirnya muncul ISO 26000 yang fokus pada bagaimana perusahaan, lembaga maupun instansi memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Bisa dikatakan bahwa ISO 26000 berusaha mengedepankan soal etika, terutama etika dalam menjalankan bisnis dan dampak sosialnya. Adanya ISO 26000 ini bisa dikatakan bermula dari kesadaran terhadap pentingnya praktik bisnis yang mengedepankan etika kian banyak mendapat dukungan.
Hal tersebut didorong oleh banyak sekali bukti empiris yang menunjukkan bahwa praktik bisnis yang tidak memperhatikan etika sudah pasti tidak bertahan lama. Akhirnya program Corporate Social Responsibility alias CSR yang merupakan wujud nyata adanya etika bisnis semakin marak dilakukan oleh para pelaku dunia usaha. Sayangnya dalam realitanya, pelaksanaan program CSR masih jauh dari apa yang diharapkan terhadapnya.
Ada beberapa faktor yang disinyalir menyebabkan hal tersebut terjadi, yang pertama karena kebijakan perusahaan yang cenderung masih belum sepenuh hati dalam menjalankan program CSR. Kemudian juga karena kurangnya tenaga yang kompeten dan juga berpengalaman. Selanjutnya bisa juga karena belum adanya aturan dari pemerintah yang me-regulasi secara penuh tentang pedoman pelaksanaan dari program CSR. Indikasi terakhir yaitu karena pemahaman masyarakat yang cenderung masih menganggap program CSR hanya sebatas bantuan dari perusahaan semata.
Dengan latar belakang itulah ISO 26000 lahir tepatnya pada tahun 2010. Tetapi berbeda dengan standar ISO jenis lainnya yang memiliki baku dan tentu saja mengikat, ISO 26000 justru sekedar berupa standar panduan teknis saja bagi perusahaan ataupun organisasi yang hendak menjalankan tanggungjawab sosial mereka. Dengan demikian maka bisa diartikan perusahaan atau organisasi yang menerapkan ISO 26000 tetap dimungkinkan untuk turut mengembangkan program CSR mereka dengan menyesuaikan keadaan objektif internal ataupun eksternal dari perusahaan. Itulah sebabnya tidak ada satu pun pihak atau lembaga yang diberi mandat secara resmi guna melakukan sertifikasi jenis ISO 26000 ini.
Dilihat garis besarnya, ISO 26000 ini dibagi ke dalam tujuh klausul pembahasan yaitu yang pertama adalah ruang lingkup, kemudian yang kedua adalah istilah dan definisi, yang ketiga adalah memahami tanggungjawab sosial, yang keempat adalah prinsip-prinsip tanggungjawab sosial, yang kelima adalah praktik dasar dari tanggung jawab sosial, yang keenam adalah subjek tanggungjawab sosial, dan yang terakhir adalah integrasi dari tanggungjawab sosial itu ke dalam organisasi perusahaan.
Menurut ISO 26000, ternyata pelaksana suatu program CSR bukan hanya oleh pihak korporasi saja, melainkan bisa juga oleh lembaga atau organisasi lainnya. Itulah mengapa kemudian hadir istilah Social Responsibility atau SR saja tanpa kata Corporate di dalamnya.
Definisi dari Social Responsibility sendiri menurut ISO 26000 yaitu tanggungjawab suatu organisasi terhadap dampak keputusan dan juga kegiatan yang dilakukannya terhadap masyarakat dan tentu saja lingkungan hidup. Hal tersebut diwujudkan melalui perilaku yang transparan serta memberi sumbangsih nyata berupa pembangunan yang berkelanjutan, kesehatan dan juga kesejahteraan masyarakat, dan tidak lupa mempertimbangkan harapan-harapan semua stakeholders.
Dengan adanya ISO 26000, tentu menjadikan perusahaan tidak dapat seenaknya saja dalam menjalankan program tanggung jawab sosialnya. Perusahaan sangat dituntut untuk terus memperhatikan setiap prinsip-prinsip yang ada di dalam klausul keempat dari standar ISO 26000 yaitu adanya akuntabilitas, adanya transparansi, adanya perilaku etis, adanya penghormatan terhadap kepentingan stakeholders, adanya penghormatan terhadap supremasi hukum, serta tentu saja adanya penghormatan terhadap norma-norma, perilaku-perilaku internasional dan tidak ketinggalan menghormati HAM.
ISO 26000 Sebagai Penjabaran Detail Konsep Dasar CSR

Pada dasarnya tidak ada isu yang baru di dalam ISO 26000 ini, karena isinya sekedar menjabarkan dengan lebih detail dan terperinci mengenai konsep dasar dari CSR. Tentu sudah banyak dipahami bahwa konsep dasar CSR di dalam teori yang disebut triple bottom line adalah profit, planet and people.
ISO 26000 seolah semakin menegaskan bahwa dimensi dari CSR tidak cuma terkait soal mesti adanya keberpihakan suatu perusahaan dalam pengembangan masyarakat, tetapi juga tetap mempertimbangkan harapan dari pemilik perusahaan itu sendiri, para karyawan dari perusahaan, pihak pemerintahan, serta tentu saja ketaatan terhadap aturan dan lestarinya lingkungan.
Dengan begitu maka tidak akan ada lagi perusahaan yang melakukan klaim bahwa mereka telah melaksanakan program CSR mereka dengan baik sedangkan operasionalnya justru masih mengakibatkan dampak kurang baik. Jika masih ada perusahaan atau organisasi yang menerapkan ISO 26000 demikian, maka sepertinya belum mengikuti pelatihan ISO.